Selasa, 13 September 2011

Pernyataan Sikap kasus DO : "Kembalikan Rasa Nyaman dan Roh Keadilan di kampus Unair"

"Kembalikan Rasa Nyaman dan Roh Keadilan di kampus Unair"

A. Evaluasi Studi Berujung Penyanderaan Akademik

Kawan-kawan semua, mungkin masih segar dalam ingatan kita bersama beberapa bulan yang lalu Pejabat Universitas Airlangga menaikkan biaya pendidikan mahasiswa baru Unair 2011 demikian tinggi. Mungkin juga masih segar dalam ingatan kita bagaimana sistem baru Cyber Kampus Unair yang mewajibkan puluhan ribu mahasiswa Unair dalam pengurusan Kartu Rencana Studi (KRS) kuliah tidak hanya menggunakan KRS Manual tapi juga menggunakan KRS Online, menyisakan rasa tidak nyaman dan membuat pusing kita semua. Baik itu mahasiswa, dosen, pegawai akademik atau bahkan pihak birokrasi sekalipun. Bahkan mungkin di antara kita semua sampai saat masih bermasalah dengan KRS manual maupun Online untuk semester ganjil ini.

Namun di balik kekisruhan KRS tersebut, ternyata pihak Pejabat Struktural Universitas Airlangga secara diam-diam mengeluarkan kebijakan lainnya yaitu penyanderaan akademik mahasiswa atau “DO halus”. Kebijakan ini di lakukan dengan tertutup dan tanpa ada sosialisasi terbuka terhadap para mahasiswa korban. Para mahasiswa yang menjadi korban mengetahuinya ketika dia akan membayar SPP di Bank bahwa ternyata rekening pembayarannya ternyata di Blokir. Padahal sampai sekarang pun para korban tidak mendapatkan Surat Keputusan (SK) yang langsung di tanda tangani oleh Rektor Unair, yang berisi tentang Pengeluaran Mahasiswa. Bagi mahasiswa korban ini sendiri juga mendapat "tekanan halus" untuk mengundurkan diri.

Dari penyisiran yang telah kami lakukan, untuk sementara ini kami mencatat ada 7 orang mahasiswa yang kenal cekal. Jumlah ini kemungkinan besar akan bertambah karena informasinya terkesan sangat di tutupi oleh pihak birokrasi kampus. Dii sisi lain para korban sendiri yang mengalami tekanan psikologis cenderung menjadi malu dan takut untuk mengungkapkan kasusnya. seperti yang terjadi pada kasus 2010 kemarin, yang korbannya mencapai ratusan orang. Ketika kami menanyakan hal tersebut baik-baik dalam beberapa kali dialog dengan pejabat Fakultas dan Universitas, yang terjadi adalah saling lempar tanggung jawab antara kedua belah pihak. Sehingga sedikit banyak membuat mahasiswa nasibnya semakin tak menentu. Beberapa mahasiswa yang berhasil kami data tersebut antara lain :

1. Richo Hariyono Mahasiswa Ilmu Fisika Angkatan 2007.
2. Wedy Sentry Noor Manajemen Perkantoran Angkatan 2010.
3. Aryo Prayogo Manajemen Perhotelan Angkatan 2010.
4. Izalllufie Agustira Taufik Manajemen Perhotelan Angkatan 2008.
5. Achmad Nador Mahasiswa D3 Pariwisata angkatan 2010.
6. Dery Febrian Mahasiswa D3 Pariwisata angkatan 2010.
7. Yogi Herdiansyah Manajemen Perbankan FEB Angkatan 2008.

B. Penyanderaan akademik Melenceng dari Filosofis Pendidikan

Terkait Permasalahan Evaluasi Studi yang berujung penyanderaan akademik yang dilakukan Universitas Airlangga Surabaya tersebut menurut pendapat kami sangat melenceng dari Filosofis Pendidikan itu sendiri. Evaluasi pendidikan terhadap para peserta didik tersebut terang menggunakan prinsip pasar bebas yang liberal, yang hanya memberi kesempatan kepada yang kuat saja. Evaluasi studi yang semestinya di jadikan alat untuk mengukur keberhasilan sebuah kurikulum pendidikan, metode pengajaran dosen atau sistem pendidikan, malah menjadi alat untuk memberikan sanksi akademis terhadap mahasiswa. Tidak seperti waktu kita dulu sekolah di SD, SMP dan SMU, evaluasi studi bukanlah menjadi alat untuk memberikan sanksi pengeluaran terhadap murid.

Sungguh aneh, Unair yang katanya merupakan sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN), ternyata cara pengelolaanya seperti halnya Perusahaan. Kami mengibaratkan kasus mahasiswa ini seperti halnya ketika pekerja/buruh ketika tidak produktif kemudian di pecat oleh perusahaan. Ibaratnya, mahasiswa yang di anggap goblok atau bodoh akan di keluarkan kampus, karena hal itu bagi para pejabat sangat memalukan. Tapi yang menjadi perbedaaanya bahwa para peserta didik ini bukanlah seorang pekerja/buruh yang bekerja mendapat upah, namun mahasiswa kuliah di Universitas Airlangga ini juga harus membayar dengan biaya yang sudah barang tentu telah kita ketahui bersama tidaklah murah.

Kebijakan evaluasi studi ini sendiri juga sangat berat sebelah karena yang selalu menjadi sasaran atau kambing hitam kesalahan adalah para mahasiswa. Entah itu di anggap malas, bodoh atau memang tidak mau melanjutkan kuliah di Unair. Sedangkan pihak pejabat struktural kampus selama ini menganggap dirinya paling benar saja, tidak mau mengkoreksi bahwa persoalan ini muncul bisa jadi karena faktor pemadatan kurikulum perkuliahan yang menyiksa mahasiswa, metode pengajaran dosen yang mungkin membuat tidak nyaman peserta didik untuk belajar, fasilitas kampus yang kurang ataupun mungkin faktor-faktor psikologis pribadi peserta didik yang membuatnya tidak bisa berkembang lebih baik.

Bilamana kami ibaratkan aroganya pejabat kampus seperti ini. Pasal 1. Pejabat kampus selalu benar. Pasal 2. Jika pejabat kampus salah, kembali ke pasal 1. Sebuah prinsip yang selama ini seolah menggantikan ajaran luhur yang di wariskan oleh Ki Hajar Dewantara kepada guru atau pendidik“ Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing madya mangun Karso, dan Tutwuri Handayani”.artinya, Di depan memberi teladan baik, di tengah memberi bimbingan, dan di belakang memberi dorongan atau motivasi kepada peserta didik.

Secara yuridis kebijakan tersebut juga tidak sesuai atau bertentangan dengan prinsip pendidikan yang ditentukan pasal 4 UU Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) tahun 2003. Diantaranya adalah: pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Jadi, menyuruh mahasiwa untuk DO tanpa adanya alasan-alasan suatu pelanggaran atau kejahatan terhadap pendidikan itu sendiri, merupakan tindakan akademik yang bertentangan dengan Sistem Pendidikan Nasional.

C. Represifitas Terhadap Aktivis

Khusus dalam persoalan yang di alami oleh kawan Richo Hariyono, kami juga menganggapnya sebuah serangan khusus yang di tujukan untuk menghancurkan keberadaan kawan-kawan FAM Unair. Apalagi kebetulan dia adalah salah anggota dan beberapa kali menjadi juru bicara organisasi. Untuk sekedar diketahui bahwa kawan Richo ini secara prosedural telah memenuhi prasyarat karena telah melakukan pembayaran SPP (lihat http://famunair.blogspot.com/2011/09/bukti-pembayaran-kawan-richo-hariyono.html, namun anehnya kemudian tetap di larang untuk mengurus akademiknya. Dan salah satu bukti yang kami miliki terkait tekanan yang kami alami dari pejabat Unair adalah saat terjadi pembongkaran pagelaran 45 gambar kemerdekaan http://www.facebook.com/media/set/?set=a.206065039446845.60887.100001300528064 dan http://famunair.blogspot.com/2011/08/tindakan-anti-demokrasi-pembongkaran.html.

Apa yang di alami oleh kawan Richo Hariyono boleh kami katakan adalah salah satu puncak represifitas yang di lakukan birokrasi Unair dengan tujuan untuk meredam gerakan kawan-kawan FAM Unair. Agar di ketahui saja, sebelum muncul kasus tersebut, hampir setahun ini tiada jemu para pejabat Unair berulangkali memanggil para anggota dan Pimpinan FAM Unair dari berbagai lintas fakultas karena beberapa aktivitasnya. Beberapa acara tersebut antara lain :

1. Saat kami mendampingi para korban penyanderaan akademik atau DO halus tahun 2010, kami harus beberapa kali di panggil oleh pihak pejabat kampus agar menghentikan aksinya.
2. Kasus bentrokan dengan aparat kepolisian pada bulan Desember 2010 saat penolakan kedatangan SBY di Surabaya. Bukannya membela mahasiswanya yang mengalami kekerasan dari aparat, malah sebaliknya pejabat kampus malah memanggil satu persatu mahasiswa yang terlibat.
3. Kasus penolakan kami terhadap pemaksaan membayar IKOMA (Ikatan Orang Tua Mahasiswa) dengan embel-embel sebagai prasyarat pengurusan akademik kuliah, karena pada dasarnya sumbangan Ikoma sifatnya Sukarela, boleh di bayar boleh tidak.
4. Kasus kenaikan Sumbangan Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan (SP3) beberapa waktu yang lalu. Penolakan keras kami selama 5 bulan dalam kurun waktu Maret-Juli ternyata harus kembali di hadapi kawan-kawan dengan pemanggilan demi pemanggilan dari pihak pejabat kampus.
5. Kasus pembongkaran pagelaran 45 seni gambar kemerdekaan oleh aparat keamanan kampus di depan Posko Pendaftaran Ngonthel Surabaya-Blitar makam Bung karno. Dalam pembongkaran ini sendiri untung tidak terjadi benturan antara satpam dan kami karena terjadi kompromi dengan tidak di bongkarnya pula bendera merah putih besar sepanjang 54 meter dan puluhan bendera merah putih lain yang kami pasang. Namun sayang, 45 gambar di atas kardus berkas tersebut kini posisinya juga entah di mana, karena setelah di bongkar belum ada itikad baik dari pihak kampus untuk mengembalikan barang tersebut kepada kami. Atau mungkin saja sudah di buang karena menganggapnya hanya barang sampah saja.

D. Apa yang harus di lakukan ?

Itulah beberapa fakta, yang sebenarnya kami enggan membukanya ke publik. Namun setelah kami merasakan bagaimana pejabat kampus dengan arogan merepresif kawan Richo hariyono, dengan terpaksa kami membuka kasus tersebut ke publik. Agar semua orang tahu bahwa kampus Unair yang katanya mengajarkan tentang nilai-nilai Demokrasi, Keadlilan, Hukum, ternyata tindakan pejabatnya tidak mencerminkan orang yang mengerti tentang demokrasi dan hukum. Tentunya sangat memalukan sekali, universitas yang mempunyai Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, ternyata tindakannya tidak berdasar etika-etika politik dan hukum yang ada.

Inilah situasi kampus Unair yang dari hari ke hari semakin jauh dari cita-cita pada awal pendiriannya pada 10 November 1954 oleh Presiden soekarno. Tidak hanya kasus di atas, sesungguhnya setumpuk persoalan masih tersimpan di kampus unair yang kita cintai ini. Mulai tidak adanya transparansi keuangan dan akademik, hingga kesejahteraan pekerja kampus yang jauh dari layak. Kepastian kerja mereka pun tidak pasti, hanya berstatus pegawai honorer, kontrak dan juga Outsourcing.

Akhir Kata kami hanya bisa berkata "Cukup Sudah Ketidakadilan terjadi di Unair. Sudah selayaknya kita semua Civitas Akademika Unair menghancurkan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan di kampus Unair tersebut".

Surabaya, 12 September 2011
Hormat kami


Mochammad Risallah Qottada Albertus Beny
Ketua Sekjend


Untuk Konfirmasi lebih lanjut acara bisa menghubungi kontak person kami :
1. Mochammad Risallah Qottada Fakultas Ilmu Budaya 085755398123
2. Albertus Beny Fakultas Farmasi 083830720237
3. Richo Hariyono Fakultas Sains & Teknologi 08993883722

Tidak ada komentar:

Posting Komentar